06 July 2009

bakainsaruang


Bagi penduduk yang tinggal di sekitar kaki gunung talang yang terletak di daerah Solok, bakainsaruang -demikian orang minang menyebutnya- sama pentingnya dengan makan atau minum secangkir kopi yang menghangatkan. Kain sarung dengan motif kotak dalam warna-warna gelap menjadi teman dalam aktivitas keseharian mereka. Mungkin agak aneh melihat orang bakainsaruang di siang hari tapi jika anda datang dan melihat langsung maka dapat dipahami mengapa sarung menjadi demikian penting. Udara yang dingin dan berkabut hampir sepanjang hari menjadi alasan mengapa kain sarung menjadi sangat fungsional disini. Tidak heran kain sarung senantiasa menyertai apapun bentuk aktivitas yang dilakukan penduduk di daerah ini. Bahkan dalam pesta pernikahan ataupun acara adat lainnya, sarung sama pentingnya dengan peci bagi laki-laki ataupun selendang bagi perempuan yang kalau tidak dipakai akan dianggap kurang sopan atau melanggar kelaziman. Sepertinya memang nyaman bakainsaruang di tengah cuaca dingin dan kerasnya tiupan angin dari puncak gunung Talang...Brrrr

11 March 2009

anak daro


Anak Daro
Anak daro adalah sebutan bagi pengantin perempuan di Minangkabau. Istilah anak daro sendiri berasal dari kata anak dan dara yang artinya anak perempuan. Seorang anak perempuan akan disebut anak daro ketika dia bersanding dengan pengantin laki-laki yang disebut Marapulai dalam sebuah pesta perkawinan tradisional Minangkabau, Baralek. Seorang anak daro jelas dikenali dari pakaiannya, suntiang lengkap dengan baju tradisional yang didominasi warna-warna merah dan kuning keemasan. Suntiang menjadi pertanda seorang anak daro. Suntiang yang dikenakan anak daro di kalangan bangsawan Minangkabau konon dulunya terbuat dari emas. Kini suntiang lazim dibuat dari perak dan logam meski warnanya tetap kuning keemasan. Motif bunga yang menghiasi suntiang menjadi simbol dari anak dara yang sedang mekar-mekarnya. Disamping sebagai hiasan kepala, suntiang juga menyimpan filosofi lain. Suntiang yang berukuran cukup besar dan berat mesti dikenakan pengantin perempuan selama pesta perhelatan. Ini mengandung arti bahwa seorang anak daro disamping dituntut kuat secara fisik ia juga harus kuat memikul tanggung jawab dalam rumah tangga nantinya. Dengan suntiang diatas kepala, seorang anak daro senantiasa tersenyum disaat bersanding di pelaminan…

17 February 2009

Durian


Durian sangat populer bagi orang Minang. Buah yang biasa dijumpai di penghujung tahun ini bukan hanya memiliki rasa yang legit tapi juga aroma yang khas.
Musim durian menjadi musim yang paling ditunggu-tunggu. Ia membawa berkah sekaligus kesempatan untuk malapean salero. Bagi yang memiliki ladang durian, mereka tentunya punya kesibukan baru yakni menunggui durian di ladang. Disamping buat dimakan sendiri, durian kebanyakan dijual karena harganya yang mahal. Satu buah durian yang lumayan besarnya bisa dijual sampai 20 ribu rupiah sementara yang kecil biasanya dijual dari harga 3 ribu rupiah. Makanya di pinggir jalan banyak dijumpai penjual durian musiman. Pasar-pasar tradisional pun dipenuhi oleh para penjaja durian. Tak hanya itu, jajanan tradisional ketan durian juga banyak ditemui di warung-warung. Orang Minang biasa makan durian ditemani ketan yang ditaburi kelapa atau ketan yang dimasak dengan santan. Perpaduan durian yang legit dengan ketan yang gurih menghasilkan kelezatan tersendiri. Tak heran banyak orang tergila-gila dengan makanan yang satu ini. Bagi penggila durian, ada tips tersendiri untuk menghindari efek samping karena kandungan gas durian yang cukup tinggi yakni dengan minum langsung dari kulit buah durian yang telah dikeluarkan isinya. Percaya atau tidak anda tidak akan mabuk meski melahap sampai tiga biji buah durian...

15 February 2009

The Transmitting of Minangkabau Dance: From Male Folk Play to Genderless Performing Art

ABSTRACT

Minangkabau traditional dances has changed significantly over years. Formerly, traditional Minangkabau dance called as pamenan. The main characteristic of dance as pamenan is played only by men in sasaran and base its movements from pancak. The dance itself own communally by people in nagari. In other word, dance was known as male folk play.

The absence of woman in traditional Minangkabau dance is definitely closely related to the institutionalization of gender in Minangkabau social system which is greatly influence by the practice of matrilineal system and Islamic teaching. The practice of matrilineal system and Islam had positioned man in public space and woman, as honored figure, placed at rumah gadang. The changing practice of both therefore allowed women to dance which was previously taboo for them. The presence of women in Minangkabau dance change the form of dance itself from male folk male play to genderless performing art. This paper, tries to analyse the transmitting of Minangkabau dance from male folk play to genderless performing art by considering the social context of the changing.


Key words: Minangkabau Dance, Matrilineal, Islam

paper seminar on ICTM Symposium, Kuala Lumpur 11-17 august 2008