17 February 2009

Durian


Durian sangat populer bagi orang Minang. Buah yang biasa dijumpai di penghujung tahun ini bukan hanya memiliki rasa yang legit tapi juga aroma yang khas.
Musim durian menjadi musim yang paling ditunggu-tunggu. Ia membawa berkah sekaligus kesempatan untuk malapean salero. Bagi yang memiliki ladang durian, mereka tentunya punya kesibukan baru yakni menunggui durian di ladang. Disamping buat dimakan sendiri, durian kebanyakan dijual karena harganya yang mahal. Satu buah durian yang lumayan besarnya bisa dijual sampai 20 ribu rupiah sementara yang kecil biasanya dijual dari harga 3 ribu rupiah. Makanya di pinggir jalan banyak dijumpai penjual durian musiman. Pasar-pasar tradisional pun dipenuhi oleh para penjaja durian. Tak hanya itu, jajanan tradisional ketan durian juga banyak ditemui di warung-warung. Orang Minang biasa makan durian ditemani ketan yang ditaburi kelapa atau ketan yang dimasak dengan santan. Perpaduan durian yang legit dengan ketan yang gurih menghasilkan kelezatan tersendiri. Tak heran banyak orang tergila-gila dengan makanan yang satu ini. Bagi penggila durian, ada tips tersendiri untuk menghindari efek samping karena kandungan gas durian yang cukup tinggi yakni dengan minum langsung dari kulit buah durian yang telah dikeluarkan isinya. Percaya atau tidak anda tidak akan mabuk meski melahap sampai tiga biji buah durian...

15 February 2009

The Transmitting of Minangkabau Dance: From Male Folk Play to Genderless Performing Art

ABSTRACT

Minangkabau traditional dances has changed significantly over years. Formerly, traditional Minangkabau dance called as pamenan. The main characteristic of dance as pamenan is played only by men in sasaran and base its movements from pancak. The dance itself own communally by people in nagari. In other word, dance was known as male folk play.

The absence of woman in traditional Minangkabau dance is definitely closely related to the institutionalization of gender in Minangkabau social system which is greatly influence by the practice of matrilineal system and Islamic teaching. The practice of matrilineal system and Islam had positioned man in public space and woman, as honored figure, placed at rumah gadang. The changing practice of both therefore allowed women to dance which was previously taboo for them. The presence of women in Minangkabau dance change the form of dance itself from male folk male play to genderless performing art. This paper, tries to analyse the transmitting of Minangkabau dance from male folk play to genderless performing art by considering the social context of the changing.


Key words: Minangkabau Dance, Matrilineal, Islam

paper seminar on ICTM Symposium, Kuala Lumpur 11-17 august 2008